Senin, 04 Juli 2016

How does it feel to live abroad?

Bismillah,

Kalau ditanya bagaimana rasanya tinggal di negeri orang terutama negeri dengan muslim sebagai minoritas, saya hanya bisa tersenyum J. Karena ada negatifnya, tapi positifnya juga banyak. Memang harus dialami sendiri.

Negatifnya yang pasti karena jauh dengan keluarga dan bikin kangen nggak ketulungan. Belum lagi susahnya mencari makanan halal sehingga disini bisa jadi program diet tak terencanakan terjadi. Hal lainnya kalau tinggal di negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris (saya di Korea) komununikasi sama penduduk lokal untuk beli garem saja susahnya minta ampun, karena taunya cuman dua kalimat: Anyeonghaseyo dan Saranghaeyo :D.

Tapi positifnya nggak kalah banyaknya, bisa jadi mungkin lebih banyak, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Pertama, kita jadi banyak belajar dari kebudayaan suatu bangsa dan mengambil budaya positifnya. Kedua, lingkaran pertemananmu nggak hanya sekitar satu Kabupaten aja *ups (hidup Kabupaten Bandung Barat). Tapi bisa nambah sampai ke ujung dunia, beda warna kulit, beda kebudayaan, beda kenegaraan, beda semuanya, sehingga kita bisa belajar bagaimana cara menyikapi dan bersahabat dengan perbedaan yang kadang bersentuhan dengan prinsip kita J. Kita bisa melihat bagaimana berbedanya umat Muslim dari satu bangsa dengan bangsa lainnya. Kadang-kadang saya menemukan beberapa aturan fiqih yang saya bengong sendiri karena selama di Indonesia saya belum pernah lihat atau melaksanakannya. Yah memang kadang perbedaan bisa jadi sumber cekcok atau sumber terhubungnya persaudaraan berdasarkan cara kita menyikapinya. Karena Islam itu indah, Islam itu beragam yang pasti jangan sampai perbedaan itu menjadi sumber pertengkaran kita dengan saudara seagama kita.

Satu hal lagi, last but not least, kamu akan belajar bagaimana mesyukuri hidupmu di Indonesia. Hal ini pas banget sama lirik lagunya Passenger – Let her go.. Kutipnya beberapa kalimat, bukan semuanya.. *nanti baper..

“ Well you only need the light when it’s burning low,
Only miss the sun when it starts to snow,
Only know you’ve been high when you’re feeling low
Only hate the road when you’re missing home”

Lirik ini sangat pas menggambarkan keadaan saya saat ini. Dulu di Indonesia cari semua restoran korea buat nyoba makanan korea, eh pas disini lidah cocoknya sama makanan Indonesia, cari bumbu, bahan makanan yang bisa untuk masak makanan Indonesia. Dulu dengerinnya lagu-lagu Korea, sekarang buka so*ndcloud kerjaannya dengerin lagunya BCL sama Iwanfals.. Baru kerasa bahwa memang Indonesia itu negara “paradise” setelah jauh dari tanah kampuang L.. Lingkungannya, cuacanya, makanannya, orang-orangnya terutama sikap ramah-tamahnya, sikap menghargainya, sikap saling tolong-menolongnya, sikap empatinya terhadap yang kesusahan, gotong-royongnya, dan yang paling penting agamisnya: bahwa orang Indonesia sangat menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa (pancasila sila ke-1). 

I miss my home and I miss you all Indonesian people.

Minggu, 03 Juli 2016

Bahaya Lisan

Lisan bagaikan pedang bermata dua. Disatu sisi bisa menjadi kebaikan yang mendatangkan pahala, disatu sisi bisa menjadi penyebab terjerumusnya seseorang kedalam neraka.

Saya teringat akan satu hadist:

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat maka berkatalah yang baik, atau (jika tidak), diamlah” (HR. Bukhari dan Muslim)

Lidah adalah perkara dhohir yang disebut dalam dua perkara penting yang perlu dijaga untuk menjadi makhluk Allah yang bertaqwa. Pertama adalah lidah yang kedua adalah kemaluan.
Melalui lisan atau lidah semua sumber permasalahan atau solusi bisa bermula. Dengan lidah kita bisa berdzikir mengagungkan nama Allah (dzikrullah) namun kita dapat pula membicarakan keburukan seseorang (ghibah). Dengan lisan kita bisa memberikan nasihat dan mengarahkan seseorang untuk dekat dengan Allah, namun dengan lisan kita dapat menyakiti hati seseorang walau dengan satu kalimat kecil.

Yup, dengan lisan kita dapat menyakiti hati saudara kita,

Bisa jadi apa yang kita pikir itu adalah hal yang normal untuk diucapkan, namun bagi saudara kita kata tersebut menyakiti hatinya, menyinggung hatinya, menurunkan harga dirinya. Karena setiap orang memiliki batas sensitif yang berbeda-beda. Bisa jadi kata tersebut tertancap pada hatinya dan saudara kita merasa terdzalimi secara batin walau mereka tidak mengatakannya kepada kita. Maka bagi saya, hal yang wajar jika terdapat hukum manusia yang mengatur tidak hanya mengenai kejahatan aniaya fisik namun juga aniaya batin.  

Oleh sebab itu Islam mengingatkan dengan serius mengenai bahayanya lisan, bahkan diperingatkan dengan hadist, jika tidak dapat berbicara baik, maka lebih diutamakan untuk diam. Hal tersebut dikarenakan banyak penyakit dan dosa yang timbul karena lidah, maka yang terbaik adalah banyak diam.

“Lidah berpangkal dari hati”

Lidah bisa menjadi parameter akan akhlak seseorang:
  1. “Sesungguhnya lidah orang mukmin berada dibelakang hatinya, apabila ingin berbicara tentang sesuatu maka dia merenungkan dengan hatinya terlebih dahulu, kemudian lidahnya menunaikannya.”
  2.  “Sedangkan lidah orang munafik berada di depan hatinya, apabila menginginkan sesuatu maka dia mengutamakan lidahnya daripada memikirkannya dulu dengan hatinya”


Saya merasa bahwa selama ini saya bukanlah termasuk orang yang dapat menjaga lidahnya dengan baik, terutama dengan orang sekitar, berbicara kadang tidak dipikirkan terlebih dahulu. Maka mulai sekarang mari sama-sama belajar untuk menjaga lisan kita, memikirkan terlebih dahulu apa konsekuensi dari yang akan kita katakan baru menunaikannya J.. Bisa jadi hal terebut menjadi boomerang kita di hari akhir nanti, memberatkan timbangan dosa kita, terutama saat saudara kita tidak memaafkan kita.